TOKSIKOLOGI
TEMBAGA
Tembaga memiliki warna kemerah-merahan. Unsur ini sangat mudah dibentuk, lunak, dan merupakan konduktor yang bagus untuk aliran elektron (kedua setelah perak dalam hal ini).Tembaga kadang-kadang ditemukan secara alami, seperti yang ditemukan dalam mineral-mineral seperti cuprite, malachite, azurite, chalcopyrite, dan bornite. Deposit bijih tembaga yang banyak ditemukan di AS, Chile, Zambia, Zaire, Peru, dan Kanada. Bijih-bijih tembaga yang penting adalah sulfida, oxida-oxidanya, dan karbonat.
Tembaga atau kuprum (L.: Cuprum) adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang mempunyai simbol Cu dan bernomor atom 29. Ia merupakan logam murni(esensial) yang mempunyai kekonduksian elektrik yang sangat baik, dan digunakan sebagai konduktor yang baik. Tembaga adalah logam kemerahan, dengan kekonduksian elektrik yang baik (hanya perak mempunyai kekonduksian elektrik yang lebih tinggi daripadanya). Tembaga memantulkan cahaya merah dan jingga dan menyerap frekuensi-frekuensi lain dalam spektrum.
Tembaga tidak larut dalam air (H2O), berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat terbagi ke dalam dua jenis yaitu:
dimana keberadaanya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, seperti antara lain, seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), kobalt (Co), mangaan (Mn) dan lain-lain.
- Kedua logam berat tidak esensial atau beracun,
dimana keberadaan dalam tubuh organisme hidup hingga saat ini masih belum diketahui manfaatnya bahkan justru dapat bersifat racun, seperti misalnya; merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr) dan lain-lain.
Logam berat esensial biasanya tebentuk sebagai bagian integral dari sekurang-kurangnya dengan satu jenis enzim.
Walupun logam berat esensial dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Pada prinsipnya ilmu toksikologi merupakan perwujudan dugaan terjadinya suatu perubahan yang disebabkan oleh masuknya senyawa racun ke dalam lingkungan.
Ketoksikan Tembaga
Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam ini ditemukan dan menetap dalam alam, tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh biologis, fisikokimia akibat aktivitas manusia. Toksisitasnya dapat berubah drastis bila bentuk kimianya berubah.
Umumnya logam bermanfaat bagi manusia karena penggunaannya dibidang industri, pertanian, atau kedokteran. Sebagian merupakan unsur penting Karena dibutuhkan dalam berbagai fungsi biokimiawi, di lain pihak logam dapat berbahaya bagi kesehatan bila terdapat dalam air, makanan, atau udara. Logam tembaga dan kuningan dahulu banyak digunakan dalam wadah atau alat masak misalnya wajan, ketel, dan tangki minum. Kontaminasi tembaga dapat juga terjadi melalui alat masak yang mengandung logam berbahaya dan mengalami pengikisan permukaan. Logam berat masuk ke dalam pangan karena proses pencemaran pada waktu penanaman, pemeliharaan, penyimpanan pasca panen dan pengolahan. Apabila pangan yang mengandung asam atau berkarbonat diolah dalam wadah tembaga, sebagian logam tembaga akan terkikis dan larut dalam pangan sehingga dapat menimbulkan keracunan. Tembaga sebagai persenyawaan kimia dipakai pula dalam fungisida atau insektisida seperti tembaga oksiklorida dan tembaga sulfat, persenyawaan tersebut dapat menyebabkan keracunan apabila tercampur ke dalam pangan, karena penyemprotan yang tidak sesuai petunjuk sehingga meninggalkan residu yang banyak dalam pangan.
Toksisitas logam Cu pada manusia, khususnya anak-anak, biasanya terjadi karena CuSO4. Beberapa gejala keracunan Cu adalah sakit kepala, keringat dingin, nadi lemah, rasa manis dan bau logam pada mulut,sakit perut, mual, muntah, diare, kejang-kejang dan koma dan beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan
kematian (Darmono, 1995). Kelebihan ataupun kekurangan tembaga dalam tubuh juga dapat menimbulkan dampak-dampak bagi kesehatan, yakni:
A. Kelebihan tembaga
Tembaga yang tidak berikatan dengan protein merupakan zat racun.
Mengkonsumsi sejumlah kecil tembaga yang tidak berikatan dengan protein dapat menyebabkan mual dan muntah.
Makanan atau minuman yang diasamkan, yang bersentuhan dengan pembuluh, selang atau katup tembaga dalam waktu yang lama, dapat tercemar oleh sejumlah kecil tembaga. Jika sejumlah besar garam tembaga, yang tidak terikat dengan protein, secara tidak sengaja tertelan atau jika pembebatan larutan garam tembaga digunakan untuk mengobati daerah kulit yang terbakar luas, sejumlah tembaga bisa terserap dan merusak ginjal, menghambat pembentukan air kemih dan menyebabkan anemia karena pecahnya sel-sel darah merah (hemolisis).
Penyakit Wilson adalah penyakit genetik yang mana tubuh tak mampu mencegah masuknya zat tembaga dalam jumlah lebih. Zat tembaga dibutuhkan tubuh untuk tetap sehat, tetapi jika kadar terlalu banyak justru menjadi racun dalam tubuh. Pada penyakit ini, zat tembaga mengumpul di hati, otak, mata, dan organ lain. Tembaga terkumpul dalam jaringan dan menyebabakan kerusakan jaringan yang luas. Penyakit ini terjadi pada 1 diantara 30.000 orang.
Hati tidak dapat mengeluarkan tembaga ke dalam darah atau ke dalam empedu. Sebagai akibatnya, kadar tembaga dalam darah rendah, tetapi tembaga terkumpul dalam otak, mata dan hati, menyebabkan sirosis. Pengumpulan tembaga dalam kornea mata menyebabkan terjadinya cincin emas atau emas-kehijauan.
Gejala awal biasanya merupakan akibat dari kerusakan otak yang berupa:
- tremor (gemetaran)
- sakit kepala
- sulit berbicara
- hilangnya koordinasi
- psikosa.
Salah satu pengobatan untuk penyakit ini adalah selalu mengontrol kadar tembaga dalam tubuh. Pengobatan medis ini juga ditujukan untuk mengetahui apakah penyakit wilson berkaitan dengan penyakit lain. Keracunan tembaga diobati dengan penisilamin yang dapat mengikat tembaga dan memudahkan pengeluaran/pembuangannya.
B. Kekurangan tembaga
Kekurangan tembaga jarang terjadi pada orang sehat, paling sering terjadi pada bayi-bayi prematur atau bayi-bayi yang sedang dalam masa penyembuhan dari malnutrisi yang berat. Orang-orang yang menerima makanan secara intravena (parenteral) dalam waktu lama juga memiliki resiko menderita kekurangan tembaga. Sindroma Menkes adalah suatu penyakit keturunan yang menyebabkan kekurangan tembaga.
Gejalanya berupa:
- rambut yang sangat kusut
- keterbelakangan mental
- kadar tembaga yang rendah dalam darah
- kegagalan sintesa enzim yang memerlukan tembaga.
Kekurangan tembaga mengakibatkan kelelahan dan kadar tembaga yang rendah dalam darah.
Sering terjadi:
- Penurunan jumlah sel darah merah (anemia)
- Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia)
- Penurunan jumlah sel darah putih yang disebut neutrofil (neutropenia)
- Penurunan jumlah kalsium dalam tulang (osteoporosis).
Juga terjadi perdarahan berupa titik kecil di kulit dan aneurisma arterial.
Pengobatan penyakit ini dengan diberikan tembaga tambahan selama beberapa minggu.
Tetapi penderita sindroma Menkes tidak memberikan respon yang baik terhadap tambahan tembaga.
Keracunan tembaga (Cu) pad hewan ternak
Walaupun Cu merupakan logam berat esensial, kecenderungan untuk menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia teruatama cukup besar. Diantara hewan lainnya, domba adalah hewan yang paling peka terhadap keracunan Cu yang di suatu perternakan angka morbiditasnya mencapai 5 % , tetapi di hewan yang sakit angka mortilitasnya dapay lebih dari 75%.
Keracunan terjadi apabila garam Cu langsung kontak dengan dinding usus domba sehingga menimblkan radang (gastro-enteritis), tinja yang keluar berbentuk cair berwarna biru-kehijauan, hewan menjadi shock dan akhirnya mati. Keracunan kronis Cu pada domba akibat kontaminasi Cu pada makanan. Bentuk toksisitas Cu ada dua bentuk yaitu:
- a. Toksisitas kronik sederhana
Sumber utama kelebihan Cu pada pakan berasal dari rumput auat hijau-hijauan pakan ternak yang telah disemprot fungisida, atau pakan formula berbentuk minerak mix, atau air minum yang telah diberi obat untuk membunuh algae atau hama siput.
- b. Toksisitas kronik hepatogenus
Beberpa jenis pakan hijauan mengandung racun alkaloid yang menyebabkan meningktanya afinitas dan peningkatan penyimpanan Cu dalam hati. Kombinasi antara tanaman hepatoksik dan Cu dapat merusak sel hati dan menimbulkan gejala keracunan.